Aditya
Nugroho
20215193
1EB14
KEMISKINAN DAN
KESENJANGAN
I.
Konsep dan Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan
di mana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan,
pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat
disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses
terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global.
Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara
yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi
memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan, dan lain-lain.
Konsep
Kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa hadir ditengah masyarakat.
Kemiskinan sebagai fenomena sosial yang telah lama ada, berkembang sejalan
dengan peradaban manusia. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan
berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga seringkali
makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki potensi tinggi.
Substansi kemiskinan adalah kondisi deprevasi tehadap sumber-sumber pemenuhan
kebutuhan dasar yang berupa sandang, pangan, papan, dan pendidikan dasar
(Sudibyo, 1995:11).
Kemiskinan
juga sering disandingkan dengan kesenjangan, karena masalah kesenjangan
mempunyai kaitan erat dengan masalah kemiskinan. Substansi kesenjangan adalah
ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi. Sudibyo (1995:11)
mengatakan bahwa “apabila berbicara mengenai kemiskinan maka kemiskinan dinilai
secara mutlak, sedangkan penilaian terhadap kesenjangan digunakan secara
relatif”. Dalam suatu masyarakat mungkin tidak ada yang miskin, tapi
kesenjangan masih dapat terjadi di dalam masyarakat tersebut.
Sebagian
besar dari penduduk miskin ini tinggal diperdesaan dengan mata pencaharian
pokok dibidang-bidang pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya yang erat
hubungannya dengan sektor ekonomi tradisional tersebut. Kehidupan mereka
bergantung pada pola pertanian yang subsistem, baik petani kecil atau pun buruh
tani yang berpenghasilan rendah, ataupun bekerja dalam sektor jasa
kecil-kecilan dan berpenghasilan pas-pasan. Fenomena banyaknya urbanisasi
penduduk desa ke kota menunjukkan bahwa adanya ketidakmerataan pembangunan di
perdesaan. Terbatasnya fasilitas umum, kecilnya pendapatan, dan terbatasnya
pekerjaan dan dalih mencari kehidupan lebih baik menjadi alasan urbanisasi ini.
Permasalahan tersebut menyiratkan adanya ketidakmerataan dan kesenjangan antara
perdesaan dan perkotaan.
II.
Garis Kemiskinan
Garis kemiskinan atau batas kemiskinan
adalah tingkat minimum pendapatan yang dianggap
perlu dipenuhi untuk memperoleh standar hidup yang mencukupi di suatu negara.
Dalam praktiknya, pemahaman resmi atau umum masyarakat mengenai garis
kemiskinan (dan juga definisi kemiskinan) lebih tinggi
di negara maju daripada di negara berkembang
Hampir setiap masyarakat memiliki rakyat yang hidup dalam kemiskinan.
Garis kemiskinan berguna sebagai perangkat ekonomi yang dapat digunakan untuk
mengukur rakyat miskin dan mempertimbangkan pembaharuan sosio-ekonomi, misalnya
seperti program peningkatan kesejahteraan dan asuransi
pengangguran untuk menanggulangi kemiskinan.
III.
Penyebab dan Dampak Kemiskinan
-
Penyebab
Kemiskinan
Nugroho dan Dahuri
(2004:165)menyatakan bahwa kemiskinan di dalam masyarakat dikarenakan oleh
beberapa sebab yaitu sebagai berikut: Kemiskinan natural disebabkan
keterbatasan kualitas sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Kemiskinan
struktural disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh berbagai
kebijakan, peraturan, dan keputusan dalam pembangunan, kemiskinan ini umumnya
dapat dikenali dari transformasi ekonomi yang berjalan tidak seimbang.
Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang lebih banyak disebabkan sikap
individu dalam masyarakat yang mencerminkan gaya hidup, perilaku, atau budaya
yang menjebak dirinya dalam kemiskinan. Dengan kata lain, seseorang dikatakan
miskin jika dan hanya jika tingkat pendapatannya tidak memungkinkan orang
tersebut untuk mentaati tata nilai dan norma dalam masyarakatnya. Jika
diuraikan pernyataan diatas, maka bisa dibagi menjadi dua faktor penyebab
kemiskinan, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah
penyebab kemiskinan yang potensinya berasal dari diri seseorang dan atau
keluarga serta lingkungan sekitarnya. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor
yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah dan situasi lain yang
berpotensi membuat seseorang jatuh miskin seperti kekurangan bahan baku atau
bencana alam.
Secara konseptual, kemiskinan bisa
diakibatkan oleh lima faktor, yaitu :
1.
Faktor
individual, atau patalogis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari
perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin;
2.
Faktor
keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan hubungan keluarga;
3.
Faktor
sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan
sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
4.
Faktor
agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk
perang, pemerintah dan ekonomu;
5.
Faktor
struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari
struktur social.
-
Dampak
akibat kemiskinan
Dampak akibat kemiskinan yang
terjadi di Indonesia, sebenarnya begitu banyak dan sangat kompleks.
Pertama, penggangguran. Jumlah
pengganguran yang terjadi pada awal tahun 2011 mencapai 8,12 juta orang. Angka
penggangguran ini cukup fantatis, mengingat krisis multidimensional yang sedang
dihadapi oleh bangsa saat ini. Banyaknya penggangguran, berarti mereka tidak
bekerja dan otomatis mereka tidak mendapatkan penghasilan. Dengan tidak bekerja
dan tidak mendapatkan penghasilan, mereka tidak data memenuhi kebutuhan
hidupnya. Secara otomatis, pengangguran menurunkan daya saing dan beli
masyarakat.
Kedua, kekerasan. Kekerasan
yang terjadi biasanya disebabkan karena efek pengangguran. Karena seseorang
tidak mampu lagi mencari nafkah yang benar dan halal.
Ketiga, pendidikan. Mahalnya biaya
pendidikan, mengakibatkan masyarakat miskin tidak dapat menjangkau dunia
sekolah atau pendidikan. Akhirnya, kondisi masyarakat miskin semakin terpuruk
lebih dalam. Tingginya tingkat putus sekolah berdampak pada rendahnya tingkat
pendidikan seseorang. Ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran akibat
tidak mampu bersaing di era globalisasi yang menuntut keterampilan di segala
bidang.
Keempat, kesehatan. Biaya pengobatan
yang terjadi pada klinik pengobatan bahkan rumah sakit swasta besar sangat
mahal dan biaya pengobatan tersebut tidak terjangkau oleh kalangan masyarakat
miskin.
Kelima, konflik social bernuansa
SARA. Konflik SARA terjadi karena ketidakpuasan dan kekecewaan atas kondisi
kemiskinan yang semakin hari semakin akut. Hal ini menjadi sebuah bukti lain
dari kemiskinan yang kita alami. Terlebih lagi fenomena bencana alam yang
sering terjadi di negeri ini, yang berdampak langsung terhadap meningkatnya
angka kemiskinan. semuanya terjadi hamper merata di setiap daerah di Indonesia,
baik di pedesaan maupun diperkotaan.
IV.
Pertumbuhan, Kesenjangan dan Kemiskinan
-
Hubungan antara Pertumbuhan dan Kesenjangan :
Hipotesis Kuznets. Hipotesis Kuznets timbul setelah dia melakukan
penelitian di beberapa negara secara time series. Dari penelitian tersebut
ditemukan hubungan kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita
dalam kurva yang berbentu huruf U terbalik. Kurva tersebut menggambarkan
terjadinya evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari
ekonomi pedesaan (pertanian) ke ekonomi perkotaan (industri).
-
Hubungan
antara Pertumbuhan dan Kemiskinan
Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara pertumbuhan output
agregat atau PDB atau PN maupun pertumbuhan output sektoral terhadap
pengurangan jumlah orang miskin. Ravallion dan Datt (1996) di India : menemukan
bahwa pertumbuhan output di sektor-sektor primer (pertanian) jauh lebih efektif
terhadap penurunan kemiskinan dibandingkan sektor-sektor sekunder. Kakwani
(2001, Filipina) : peningkatan 1% output di sektor pertanian dapat mengurangi
jumlah org yg hidup di bwh garis kemiskinan sedikit di atas 1%. Sedangkan %
pertumbuhan yg sama di sektor industri dan jasa hanya mngakibatkan pengurangan
kemiskinan 0,25 – 0.3%.
V.
Beberapa Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan
-
INDIKATOR
KESENJANGAN
Ada sejumlah cara untuk
mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dibagi ke dalam
dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering
digunakan dalam literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga
alat ukur, yaitu the generalized entropy (GE), ukuran atkinson, dan koefisien
gini.
Yang paling sering dipakai
adalah koefisien gini. Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan
1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari
pendapatan) dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian
pendapatan.
Ide dasar dari perhitungan
koefisien gini berasal dari kurva lorenz. Semakin tinggi nilai rasio gini,
yakni mendekati 1 atau semakin jauh kurva lorenz dari garis 45 derajat tersebut,
semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan.
-
INDIKATOR
KEMISKINAN
Batas garis kemiskinan yang
digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda. Ini disebabkan karena adanya
perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan Pusat Statistik (BPS)
menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita
sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994).
Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari.
Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran
untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
Dengan kata lain, BPS
menggunakan 2 macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs
approach) dan pendekatan Head Count Index. Pendekatan yang pertama merupakan
pendekatan yang sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan
dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Sedangkan Head Count Index merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan
absolut. Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang berada di bawah
batas yang disebut garis kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan
minimum makanan dan non makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari
2 komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non
makanan (non food line).
Untuk mengukur kemiskinan
terdapat 3 indikator yang diperkenalkan oleh Foster dkk (1984) yang sering
digunakan dalam banyak studi empiris. Pertama, the incidence of proverty :
presentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran
konsumsi perkapita dibawah garis kemiskinan, indeksnya sering disebut rasio H.
Kedua, the dept of property yang menggambarkan
dalamnya kemiskinan disuatu wilayah yang diukur dengan indeks jarak kemiskinan
(IJK), atau dikenal dengan sebutan proverty gap index. Indeks ini mengestimasi
jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai
suatu proporsi dari garis tersebut.
VI.
Kemiskinan di Indonesia
Permasalahan
yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh pemerintah indonesia saat ini adalah
kemiskinan, disamping masalah-masalah yang lainnya. dewasa ini pemerintah belum
mampu menghadapi atau menyelesaikan permasalahan kemiskinan.
Menurut
Remi dan Tjiptoherijanto (2002:1) upaya
menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia telah dimulai awal tahun 1970-an
diantaranya melalui program Bimbingan Masyarakat (Bimas) dan Bantuan Desa
(Bandes). Tetapi upaya tersebut mengalami tahapan jenuh pada pertengahan tahun
1980-an, yang juga berarti upaya penurunan kemiskinan di tahun 1970-an tidak
maksimal, sehingga jumlah orang miskin pada awal 1990-an kembali naik.
Disamping itu kecenderungan ketidakmerataan pendapatan nasional melebar yang
mencakup antar sektor, antar kelompok, dan ketidakmerataan antar wilayah.
Berdasarkan
data Bank Dunia jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 2002 bukanlah 10
sampai 20% tetapi telah mencapai 60% dari jumlah penduduk Indonesia yang
berjumlah 215 juta jiwa.
Hal
ini diakibatkan oleh ketidakmampuan mengakses sumber-sumber permodalan, juga
karena infrastruktur yang juga belum mendukung untuk dimanfaatkan masyarakat
memperbaiki kehidupannya, selain itu juga karna SDM, SDA, Sistem, dan juga
tidak terlepas dari sosok pemimpin. Kemiskinan harus diakui memang terus
menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai negara bangsa,
bahkan hampir seluruh energi dihabiskan hanya untuk mengurus persoalan
kemiskinan. Yang menjadi pertanyaan sekarang ini adalah, mengapa masalah
kemiskinan seakan tak pernah habis, sehingga di negara ini, rasanya tidak ada
persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah
membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas,
kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi,
kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya
jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus perpindahan
dari desa ke kota dengan tujuan memperbaiki kehidupan, dan yang lebih parah,
kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan
papan secara terbatas. Kemiskinan menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan
apa saja demi keselamatan hidup, kemiskinan menyebabkan banyak orang melakukan
prilaku menyimpang, harga diri diperjual belikan hanya untuk mendapatkan makan.
Si Miskin rela mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi
mereka yang memiliki uang dan memegang kendali atas sektor perekonomian lokal
dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para
buruh bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit.
Bahkan yang lebih parah, kemiskinan telah membuat masyarakat kita terjebak
dalam budaya memalas, budaya mengemis, dan menggantungkan harapannya dari budi
baik pemerintah melalui pemberian bantuan. kemiskinan juga dapat meningkatkan
angka kriminalitas, kenapa penulis mengatakan bahwa kemiskinan dapat
meningkatkan angka kriminalitas, jawabannya adalah karna mereka (simiskin) akan
rela melakukan apa saja untuk dapat mempertahankan hidupnya, baik itu mencuri,
membunuh, mencopet, bahkan jika ada hal yang lebih keji dari itu ia akan tega
dan berani melakukannya demi hidupnya. Kalau sudah seperti ini siapa yang harus
kita salahkan. kemiskinan seakan menjadi sebuah fenomena atau sebuah persoalan
yang tak ada habis-habisnya, pemerintah terkesan tidak serius dalam menangani
persoalan kemiskinan, pemerintah lebih membiarkan mereka mengemis dan mencuri
ketimbang memikirkan cara untuk menanggulangi dan mengurangi tingkat kemiskinan
dan membebaskan Negara dari para pengemis jalanan karna kemiskinan.
VII.
Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan
Pada umumnya penyebab-penyebab
kemiskinan adalah sebagai berikut:
1.
Laju
Pertumbuhan Penduduk.
Pertumbuhan penduduk Indonesia terus
meningkat di setiap 10 tahun menurut hasil sensus penduduk. Meningkatnya jumlah
penduduk membuat Indonesia semakin terpuruk dengan keadaan ekonomi yang belum
mapan. Jumlah penduduk yang bekerja tidak sebanding dengan jumlah beban
ketergantungan. Penghasilan yang minim ditambah dengan banyaknya beban
ketergantungan yang harus ditanggung membuat penduduk hidup di bawah garis
kemiskinan.
2.
Angkatan
Kerja, Penduduk yang Bekerja dan Pengangguran.
Secara garis besar penduduk suatu
negara dibagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Yang
tergolong sebagi tenaga kerja ialah penduduk yang berumur didalam batas usia
kerja. Batasan usia kerja berbeda-beda disetiap negara yang satu dengan yang
lain. Batas usia kerja yang dianut oleh Indonesia ialah minimum 10 tahun tanpa
batas umur maksimum. Jadi setiap orang atausemua penduduk kesenjangan dikatakan
lunak, distribusi pendapatan nasional dikatakan cukup merata.
Pendapatan penduduk yang didapatkan
dari hasil pekerjaan yang mereka lakukan relatif tidak dapat memenuhi kebutuhan
sehari-hari sedangkan ada sebagian penduduk di Indonesia mempunyai pendapatan
yang berlebih.
3.
Tingkat
pendidikan yang rendah.
Rendahnya kualitas penduduk juga
merupakan salah satu penyebab kemiskinan di suatu negara. Ini disebabkan karena
rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan tenaga kerja. Untuk adanya
perkembangan ekonomi terutama industry, jelas sekali dibutuhkan lebih banyak
tenaga kerja yang mempunyai skill atau paling tidak dapat membaca dan menulis.
4.
Kurangnya
perhatian dari pemerintah.
Pemerintah yang kurang peka terhadap laju pertumbuhan
masyarakat miskin dapat menjadi salah satu faktor kemiskinan. Pemerintah tidak
dapat memutuskan kebijakan yang mampu mengendalikan tingkat kemiskinan di
negaranya.
5.
Distribusi
yang tidak merata
Secara makro, kemiskinan muncul karena adanya
ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi
pendapatan timpang, penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah
yang terbatas dan kualitasnya rendah.
VIII.
Kebijakan Anti Kemiskinan
Kebijakan
anti kemiskinan dan distribusi pendapatan mulai muncul sebagai salah satu
kebijakan yang sangat penting dari lembaga-lembaga dunia, seperti Bank Dunia,
ADB,ILO, UNDP, dan lain sebagainya.
Tahun 1990,
Bank Dunia lewat laporannya World Developent Report on Proverty mendeklarasikan
bahwa suatu peperangan yang berhasil melawan kemiskinan perlu dilakukan secara
serentak pada tiga front : (i) pertumbuhan ekonomi yang luas dan padat karya
yang menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi kelompok miskin, (ii)
pengembangan SDM (pendidikan, kesehatan, dan gizi), yang memberi mereka
kemampuan yang lebih baik untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang
diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi, (iii) membuat suatu jaringan pengaman
sosial untuk mereka yang diantara penduduk miskin yang sama sekali tidak mamu
untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dan
perkembangan SDM akibat ketidakmampuan fisik dan mental, bencana alam, konflik
sosial, dan terisolasi secara fisik.
Untuk
mendukung strategi yang tepat dalam memerangi kemiskinan diperlukan
intervensi-intervensi pemerintah yang sesuai dengan sasaran atau tujuan
perantaranya dapat dibagi menurut waktu, yaitu :
1.
Intervensi
jangka pendek, berupa :
-
Pembangunan/penguatan
sektor usaha
Kerjsama
regional.
-
Manajemen
pengeluaran pemerintah (APBN) dan administrasi.
-
Desentralisasi.
-
Pendidikan
dan kesehatan.
-
Penyediaan
air bersih dan pembangunan perkotaan.
-
Pembagian
tanah pertanian yang merata.
2.
Pembangunan
sektor pertanian, usaha kecil, dan ekonomi pedesaan
3.
Manajemen lingkungan dan SDA
4.
Pembangunan transportasi, komunikasi, energi dan keuangan
5.
Peningkatan keikutsertaan masyarakat sepenuhnya dalam pembangunan
6.
Peningkatan proteksi sosial (termasuk pembangunan sistem jaminan sosial)
Salah satu contoh kebijakan Anti Kemiskinan pemerintah:
PAKET INSENTIF 1 OKTOBER 2005
Paket Insentif 1 Oktober 2005 merupakan bagian integral dan implementasi serta
tindak lanjut dari Paket Kebijakan 31 Agustus 2005 yang telah disampaikan oleh
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Paket ini juga didisain dalam kerangka
reformasi ekonomi untuk memperkuat fondasi perekonomian dan mempertahankan
momentum percepatan laju pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan daya saing dan
menggairahkan investasi dalam rangka penciptaan kesempatan kerja dan
pengurangan kemiskinan.
IX.
Referensi